Jumat, 17 Februari 2012

MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Oleh : Santi Sari Dewi
I. PENDAHULUAN
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, dijelaskan bahwa Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin (a) akses masyarakat atas pelayanan pendidikan yang mencukupi, merata, dan terjangkau ; (b) mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat; dan (c) efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.
         Penyelesaian persoalan pendidikan dalam merealisasikan hal tersebut di atas tidak harus dengan menaikkan anggaran pendidikan, melainkan pendidikan dikelola dengan manajemen profesional, yaitu manajemen yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara sungguh-sungguh, konsisten dan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya, sehingga tercapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Kast and Rosenweig : 1979). Setiap kebijakan harus dikelola dengan langkah-langkah : Pertama, dilakukan perencanaan (plan) secara matang, baik perencanaan strategis maupun taktis. Kedua, pelaksanaan (do) yang melibatkan sumber daya manusia yang profesional dan sesuai bidangnya. Dalam tahap pelaksanaan ini diperlukan pengkoordinasian, supervisi, pengawasan dan kepemimpinan yang profesional. Ketiga, tahap evaluasi. Setelah kebijakan dilaksanakan maka perlu dievaluasi (check) untuk mengetahui sejauhmana perencanaan dapat dilaksanakan dan tujuan tercapai. Keempat, hasil evaluasi selanjutnya digunakan untuk perbaikan (review). Ini berarti setiap akan merumuskan kebijakan baru, harus didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan yang telah diimplementasikan.
Manajemen pendidikan yang profesional selalu mengadakan plan, do, check dan review secara konsisten, terus menerus dan berkelanjutan. Pengelolaan pendidikan secara profesional menjadi sebuah keharusan, agar pendidikan kita berkualitas dan mampu bersaing secara wajar dalam konstelasi pendidikan global.

II. PEMBAHASAN
Lunenburg dan Ornstein mengemukakan mengembangkan profesionalitas dalam manajemen pendidikan meliputi :
1) Culture (budaya)
Mengembangkan profesionalitas dalam manajemen pendidikan, bermaksud agar sekolah sebagai organisasi berhasil maka tujuannya harus konsisten dengan nilai-nilai dan budaya dari masyarakat yang mereka layani.
Budaya yang positif merupakan satu norma, harapan, dan kepercayaan dari personil-personil yang terlibat dalam organisasi sekolah yang dapat memberikan dorongan untuk bertindak yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.
Hal ini dapat ditumbuhkembangkan melalui perubahan gaya manajemen dan kepemimpinan sekolah yang sangat ditentukan oleh kepala sekolah, dengan bekerjasama dalam semua pencapaian kinerja sekolah bersama para guru dan pegawai, orang tua siswa, komite sekolah, dan para siswa itu sendiri.

2) Change (perubahan)
Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang perlu di respon oleh pihak manajemen pendidikan. Perubahan kini tengah terjadi dalam lingkungan makro dan mikro pendidikan. Lingkungan makro merupakan aspek politik, ekonomi, sosial, teknologi yang mempengaruhi kultur institusi pendidikan. Lingkungan mikro berkaitan dengan tuntutan penghargaan pelanggan dan stakeholders pendidikan. Maka peran lembaga pendidikan perlu diperkokoh untuk menentukan arah perubahan. Bukan tergilas oleh perubahan yang ada, lalu tertinggal dan diabaikan oleh masyarakat, karena mungkin akan semakin banyak yang tidak puas kalau hanya berubah apa adanya. Dengan kemampuan merancang perubahan, lembaga pendidikan (sekolah) mampu memberdayakan diri untuk memperbanyak peluang dan memanfaatkan peluang bagi kemajuan lembaga pendidikan tersebut.

3) Curriculum (kurikulum)
Mengembangkan profesionalitas manajemen pendidikan dalam hal pengembangan kurikulum adalah terwujudnya kurikulum di sekolah yang sesuai kondisi dan kemampuan sekolah sehingga program-program yang dapat dikembangkan antara lain (1) sosialiasi dan pemantapan Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, Permendiknas No.23 tahun  2006 tentang standar kompetensi kelulusan, Permendiknas No.24 tahun 2006 tentang pelaksanaan standar isi dan standar kompetensi kelulusan, (2) pengumpulan dokumen dan referensi untuk bahan penyusunan KTSP, (3) pembentukan tim khusus pengembang KTSP, (4) pelaksanaan penyusunan KTSP, dan sebagainya.

4) Human resources administration (administrasi sumber daya manusia)
            Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang ikut berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Ada hubungan yang erat antara mutu dan kualitas kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta didik. Dalam pada itu, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah. Hal tersebut menjadi lebih urgen sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan tegas kepala sekolah yang menghendaki kinerja yang semakin efektif dan efesien.
            Di samping itu perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaan manajemen secara profesional. Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah yang profesional dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan berkesinambungan guna meningkatkan kualitas pendidikan.
            Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
            Tantangan profesionalisme pendidikan dari semua jenjang (SD,SMP, SMU bahkan Perguruan Tinggi) memerlukan penataan pengajar atau guru secara profesional dalam memperkuat penguasan ilmu (kompetensi) masing-masing sesuai yang diamanatkan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
            Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
1. Orientasi Filosofi
     Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu :
              Pendekatan pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal.
              Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya.
              Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan        prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistem,         dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap     merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan          standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan     individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang    disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi        tergantung pada tuntutan penggunanya.

            2. Orientasi Perkembangan
                         Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan   
            profesionalisasi, yaitu:
a.    Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi
b.    Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu. Para praktisi biasanya terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
c.    Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
d.    Penentuan kode etik.
e.    Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.

3. Orientasi Karakteristik
         Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik   profesi/pekerjaan. Ada 
delapan karakteristik pengembangan  profesionalisasi, satu dengan yang lain saling 
terkait :
       a.      Kode etik
       b.      Pengetahuan yang terorganisir
       c.      Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
       d.      Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
       e.      Sertifikat keahlian
      f.     Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung    
           jawab
      g.    Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
      h.     Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota  
          profesi

4. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu       dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi,           misalnya termasuk pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Ada dimensi lain tentang tenaga kerja dalam pendidikan yang secara tradisional melihat diri mereka sendiri sebagai pelindung dari mutu dan standar institusi. Penekanan TQM (Total Quality Management) pada kedaulatan pelanggan dapat menyebabkan konflik dengan konsep-konsep profesional tradisional. Ini merupakan masalah yang rumit, dan menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan oleh institusi pendidikan yang menggunakan prosedur mutu terpadu. Pelatihan guru dalam konsep mutu merupakan elemen penting dalam upaya merubah kultur. Staf harus paham bagaimana mereka dan muridnya dapat memperoleh manfaat dari fokus terhadap pelanggan. Mutu terpadu bukan sekedar ‘membuat pelanggan senang dan tersenyum’. Mutu terpadu adalah mendengarkan dan berdialog tentang kekhawatiran dan aspirasi pelanggan. Aspek terbaik dari peran profesional adalah perhatian serta standar akademik dan kejuruan yang tinggi. Memadukan aspek terbaik dari profesionalisme dengan mutu terpadu merupakan hal yang esensial untuk mencapai sukses.

5) Diversity (keragaman)
Pendidikan sering dikaitkan dengan transmisi pengetahuan dan pengembangan perilaku dan keterampilan sosial yang pemahaman mengenainya seringkali diseragamkan. Pendidikan juga merupakan transmisi nilai, baik di generasi yang sama maupun antar generasi dan lintas budaya. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan berdampak besar terhadap berkembangnya atau menurunnya keanekaragaman budaya. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus berupaya mempromosikan pendidikan melalui dan untuk keanekaragaman. Hal ini menjamin hak atas pendidikan dengan mengakui keanekaragaman kebutuhan para pelajar (terutama kelompok-kelompok minoritas, asli, dan nomaden) dan dengan mengintegrasikan keanekaragaman metode dan isi yang saling berhubungan.
              Dalam masyarakat multikultural yang semakin kompleks, pendidikan harus membekali kita dengan kompetensi antarbudaya yang akan memungkinkan kita hidup bersama dalam perbedaan budaya dengan tidak saling membenci.
              Empat prinsip pendidikan berkualitas sebagaimana tertulis dalam laporan Komisi Dunia tentang Pendidikan untuk Abad ke-21 yaitu ‘belajar untuk menjadi’, ‘belajar untuk mengetahui’, ‘belajar untuk melakukan’ dan ‘belajar untuk hidup bersama’ hanya dapat berhasil dilaksanakan jika keanekaragaman budaya mendapat perhatian utama.

6) Effective teaching strategies (strategi mengajar yang efektif)
              Pengembangan profesionalitas dalam manajemen pendidikan, dalam konteks strategi mengajar yang efektif yaitu dengan cara antara lain :
a.    Sosialisasi dan pemantapan berbagai strategi pembelajaran.
b.    Peningkatan perencanaan proses pembelajaran.
c.    Peningkatan pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan berbagai strategi pembelajaran (CTL, pembelajaran tuntas, moving class, dll).
d.    Peningkatan pembuatan modul pembelajaran.
e.    Peningkatan pengembangan penilaian hasil pembelajaran.
f.     Peningkatan pengembangan pengawasan pembelajaran, dsb.
g.    Strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan profesionalitas dalam hal ini antara lain melaksanakan pelatihan secara internal sekolah, melakukan kerjasama dengan instansi lain, melakukan magang ke sekolah lain, dll.

7) Supervision of instruction (Supervisi intruksi)
Kebijakan supervisi yang berlaku saat ini dapat dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi sasarannya ditekankan pada kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, prestasi belajar menjadi titik pusat perhatian. Oleh karena tujuan utamanya memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau mata pelajaran maka supervisor (yang di dalam praktik disebut pengawas) disyaratkan memiliki latar belakang studi tertentu dan harus memiliki pengalaman sebagai guru. Dilihat dari ruang lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1) supervisi kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas, (3) dan supervisi sekolah.
Supervisi sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program dapat disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program merupakan langkah awal dari proses akreditasi dan validasi lembaga. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan.
Dalam bukunya yang berjudul Educational Administration, Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (2003) memaparkan tentang kriteria sekolah sehat, yang terbagi ke dalam tiga level dan tujuh dimensi, yang dijadikannya sebagai kerangka penyusunan Organizational Health Inventory (OHI).
A. Level Lembaga
Level lembaga merupakan level yang berkaitan dengan hubungan organisasi dengan lingkungannya. Hal ini penting untuk kepentingan legitimasi dan dukungan masyarakat terhadap sekolah.
-       Institutional Integrity
Institutional integrity merujuk kepada keutuhan segenap program pendidikan di sekolah. Sekolah tidak menjadi sasaran empuk dan mampu melindungi diri secara sukses dari berbagai serangan dan tekanan kekuatan eksternal yang merugikan.
B. Level Manajerial
Level manajerial merujuk kepada kegiatan untuk menjembatani dan mengendalikan usaha-usaha internal organisasi sekolah. Kepala sekolah merupakan petugas adminitratif yang utama di sekolah, yang harus dapat menemukan cara-cara terbaik untuk mengembangkan loyalitas, kepercayaan dan motivasi guru, serta dapat mengkoordinasikan setiap pekerjaan di sekolah.
-       Principal Influence
Principal influence merujuk kepada kemampuan kepala sekolah untuk mempengaruhi tindakan para atasan. Kepala sekolah dapat bertindak persuasif, bekerja secara efektif dengan atasan, dan menunjukkan kemandiriannya (independensi) dalam berfikir dan bertindak.
-       Consideration
Consideration merujuk pada perilaku kepala sekolah yang bersahabat, suportif, terbuka dan kolegial.
-       Initiating Structure
Initiating Structure merujuk pada perilaku kepala sekolah yang berorientasi pada tugas dan prestasi. Kepala sekolah memiliki sikap dan ekspektasi yang jelas tentang prosedur dan standar kinerja bawahannya (guru).
-       Resource Support
Resource Support merujuk pada ketersediaan bahan-bahan atau perlengkapan yang diperlukan dan digunakan untuk kepentingan pembelajaran di kelas secara memadai.
C. Level Teknis
Level teknis berkaitan dengan proses belajar mengajar dan tanggung jawab guru terhadap pendidikan siswa sebagai produk sekolah.
-       Morale
Morale merujuk pada rasa saling percaya, percaya diri, semangat, dan persahabatan yang diperlihatkan para guru dan para guru memiliki kepekaan terhadap pencapaian prestasi kerjanya
-       Academic Emphasis
Academic Emphasis merujuk pada usaha sekolah untuk menekankan pencapaian prestasi, khususnya prestasi akademik para siswanya. Lingkungan pembelajaran ditata secara sungguh-sungguh. Guru-guru merasa yakin terhadap kemampuan siswanya untuk meraih prestasi, para siswa bekerja keras dan pemberiaan penghargaan kepada setiap orang yang mampu menunjukkan prestasi akademiknya.
          
           Kebalikan dari sekolah sehat adalah sekolah tidak sehat, Fred C.Lunenburg dan Allan C. Ornstein (2004) menyebutnya sebagai ”Sekolah Sakit” Ciri-ciri sekolah yang tidak sehat atau sakit adalah :
Pada level lembaga, sekolah mudah diserang oleh kekuatan-kekuatan luar yang bersifat destruktif (merusak). Kepala sekolah, guru-guru dan staf tata usaha diberondong hal-hal yang tidak rasional oleh orang tua dan kelompok masyarakat tertentu dan sekolah tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan-tekanan tersebut.
Pada level manajerial, kepala sekolah tidak mampu menyediakan kepemimpinannya secara memadai, dalam arti kurang memberikan pengarahan, perhatian dan dukungan terhadap guru yang rendah, bekerja di bawah tekanan atasan.
Pada level teknis, moral atau semangat kerja guru sangat rendah, para guru kurang memperhatikan tentang pekerjannya. Mereka bertindak sendiri-sendiri, saling curiga, dan defensif (selalu mempertahankan atau membela diri). Dalam upaya mencapai keunggulan akademik sangat terbatas. Singkatnya, bahwa dalam sekolah sakit, setiap orang akan berfikir dan bertindak “bagaimana nanti”
Untuk menuju profesionalisme manajemen pendidikan maka diperlukan satu sistem manajemen mutu (SMM) yang diakui dan berstandar baik secara nasional bahkan internasional. Satu sistem manajemen mutu yang telah berstandar internasional adalah ISO 9001:2008 (baca ISO 9001 versi 2008) . ISO 9001 sebagai satu sistem manajemen mutu tidak hanya diterapkan untuk produk industri manufaktur saja tetapi juga sesuai untuk industri jasa seperti lembaga pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah dan kampus memiliki sertifikasi ISO 9001:2008 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional pada pasal 11b menyatakan  Pengelolaan SBI harus  menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir.
ISO 9001:2008 adalah suatu standar internasional untuk sistem manajemen Mutu. ISO 9001:2008 menetapkan persyaratan - persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen mutu. ISO 9001:2008 bukan merupakan standar produk, karena tidak menyatakan persyaratan - persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah produk (barang atau jasa). ISO 9001:2008 hanya merupakan standar sistem manajemen mutu/kualitas. Namun, bagaimanapun juga diharapkan bahwa produk yang dihasilkan dari suatu sistem manajemen adalah berkualitas internasional, akan berkualitas baik (standar).
Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 merupakan prosedur terdokumentasi dan praktek - praktek standar untuk manajemen sistem, yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu, dimana kebutuhan atau persyaratan tertentu tersebut ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi. Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 didesain untuk mengatur sistem dan manajemen dalam sebuah organisasi agar dapat mencapai apa yang diharapkan oleh konsumen dari produk organisasi tersebut secara efektif dengan peningkatan dan perbaikan secara terus-menerus (continous  improvement).
Manfaat implementasi ISO 9001:2008 pada organisasi pendidikan (sekolah, kursus, college, dan  perguruan tinggi) adalah sebagai berikut :
1)      Semua warga organisasi pendidikan akan taat azaz sesuai standar yang telah ditentukan.
2)      Memberikan semangat dan budaya baru karena ISO 9001 : 2008 fokus pada  kepuasan pelanggan.
3)      Warga organisasi pendidikan memiliki sense of service, sense of quality, sense of improvement, dan sense of responsibility.
4)      Memperbaiki kepercayaan dan kepuasan pelanggan.
5)      Memperbaiki citra mutu dan persaingan.
6)      Menaikkan produktifitas dan mutu produk atau jasa melalui : tim kerja dan komunikasi yang baik, kontrol yang lebih kuat terhadap keseluruhan proses, mereduksi pemborosan.
7)      Menyediakan pelatihan yang sistematis terhadap semua staf melalui prosedur dan instruksi kerja yang didefinisikan dengan baik.
8)      Meningkatkan kepedulian mutu dalam organisasi pendidikan.
9)      Menyediakan pendekatan yang sistematis dan praktis terhadap manajemen mutu dan kepuasan pelanggan.
10)   Meyakinkan konsistensi dari operasi untuk tetap menghasilkan produk yang bermutu.
11)   Membuat kerangka kerja untuk perbaikan bertahap terhadap proses mutu untuk waktu yang akan datang.
12)   Kerja lebih tertata, terarah, konsisten, lebih aman, lebih cepat dan lebih baik.
13)   Rekaman/arsip mudah dicari.
14)   Kejelasan tugas dan tanggung jawab.
15)   Kelemahan segera terdeteksi dan ditanggulangi.
16)   Memudahkan organisasi untuk menyelenggarakan manajemen yang efektif.
17)   Meningkatkan komunikasi dengan penlanggan dan antar unit dalam organisasi.
Implementasi ISO 9001:2008  pada organisasi pendidikan merupakan salah satu strategi bagi upaya peningkatan layanan sekolah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan pendidikan nasional, khususnya dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Melalui implementasi ISO 9001:2000 di organisasi pendidikan, maka seluruh sistem di sekolah menengah dibangun di atas landasan pola pikir manajemen yang terstandar secara internasional. Dengan standar internasional maka kualitas program dan layanan yang diberikan oleh sekolah  pun diharapkan sesuai dengan standar internasional.

III PENUTUP
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa mengembangkan profesionalitas dalam manajemen pendidikan memang sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia agar sesuai dengan standar nasional pendidikan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi
Program Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein. 2004. Educational
Administration : Concepts and Practices. Singapore : Wadsworth.

Rohiat. 2010. Manajemen Sekolah : Teori Dasar dan Praktik. Bandung :
Refika Aditama.

Sallis, Edward. 2010. Total Quality Management in Education. Yogyakarta:
IRCiSoD.

Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja
Rosada Karya.

Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel. 2003. Educational Administration :
Theory, Research and Practice. Singapore : McGrawHill.

pada 30 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar